Yogyakarta: Never Ending Asyiknya... #4

Edisi City Tour

Bravo March!!! *Puter lagu Depapepe* diakhir Bulan Februari 2012 aku sudah bersiap-siap untuk 'hedon' disetiap akhir pekan. Pasalnya, Sahabatku yang sebenarnya adalah rivalku pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tingkat Nasional 2010 silam datang ke Jogja untuk menghabiskan uangnya dan memintaku untuk dapat menjadi tour guide. Setelah itu, 'tamu agung' dari Bandung juga datang ke Jogja pada minggu kedua. Akhir minggu ketiga aku habiskan bersama temanku yang lain dari Lampung yang akan meneruskan kuliah di Universitas Negeri Surakarta. Selanjutnya diminggu keempat aku juga harus meng-guide sahabat dari Bandung. Sebenarnya kalau mau dihitung-hitung dan dipatok tarif sudah lumayan pendapatan yang kuterima. Hehehe... *devillaugh*

Kali ini aku bercerita mengenai liburan akhir pekanku diawal bulan bersama Ahmed Mawardi. Dia tiba di Jogja pada Jumat pagi dari Jakarta, dan Thanks God aku tidak harus menjemputnya di Bandara Adisucipto. Rekan kami yang lain, Nomensen dari Kalimantan Timur yang menjemputnya dan kemudian mengajaknya jalan-jalan ke Prambanan. Bukan apa-apa, aku ada kuliah hari itu.

Voila!!! Ini dia yang (mungkin) selalu menjadi pusat perhatian pertama kali ketika melakukan city tour di Jogja. Yaps. Tugu Jogja yang konon merupakan landmark Kota Jogja. Konon Tugu ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Tugu yang berlokasi ditengan-tengah perempatan Jalan Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro ini katanya merupakan saksi perjuangan rakyat Jogja pada jaman kolonialisme.

Tugu yang kerap disebut Tugu Pal Putih Jogja ini hadir kembali dengan wajah baru setelah direnovasi dan diresmikan Wakil Gubernur DIY Sri Paduka Paku Alam IX Selasa (18/12/2012). Tugu ini katanya didirikan setahun setelah pembangunan keraton dan menggambarkan semangat persatuan rakyat untuk melawan penjajah. Awalnya, tugu ini berbentuk silinder yang mengerucut keatas dengan ketinggian 25 meter. Namun pada tahun 1867,tugu ini runtuh akibat gempa yang melanda Jogja. Kemudian pada tahun 1889, pemerintah Belanda merenovasi tugu menjadi berbentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti. Prasasti ini menujukkan pihak-pihak yang terlibat dalam renovasi tugu. Alhasil, tugu tersebut menjadi lebih pendek dan disebut sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.



Tugu Jogja setelah renovasi dengan penambahan taman yang dipagari rantai

Borobudur Temple

Destinasi dihari kedua adalah Candi Borobudur. Lantaran aku juga orang baru di Jogja yang belum ternaturalisasi, kami sedikit mendapat kesulitan dalam hal berkomunikasi dengan penduduk lokal dan menemukan informasi transportasi. Tapi karena kami mempunyai jiwa petualang yang cukup tangguh, akhirnya kami menyusuri jalan Kaliurang KM 5 dari tempatku tinggal dan hotel Ahmed menuju shelter Trans Jogja Kentungan yang berjarak sekitar satu kilometer. Dari Daerah Kentungan ini, untuk mencapai kawasan wisata Candi Borobudur cukup dengan menumpang bus TJ dengan tarif 3k kemudian berhenti di Terminal Jombor. Selanjutnya perjalanan dapat dilanjutkan dengan Bus sampai ke Terminal Borobudur dengan tarif 15k. Kemudian dari terminal ini, bisa mencapai lokasi dengan berjalan kaki, naik becak, ojeg, atau andong. Kami memilih naik andong dengan tarif 10k. Disinilah saya melihat bahwa citra pribumi tidak lekang oleh modernisasi. Bus ini diisi oleh ibu-ibu pedagang pasar, anak sekolah, para pelancong lokal, sampai bule. Dengan adanya kawasan tujuan wisata, bus ini tetap ramai penumpang. Berbeda dengan angkutan umum di Kota Jogja yang kebanyakan sepi karena terlindas kendaraan pribadi. Ohhh!!!

Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi ini konon merupakan Candi Budha terbesar kedua didunia setelah Candi Angkor Wat yang terdapat di Kamboja. Candi ini mempunyai filosofi yang tergambar dari ketiga bagiannya. Bangunan kaki disebut Kamadhatu, yang menceritakan tentang kesadaran yang dipenuhi dengan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Kemudian Ruphadatu, yang bermakna sebuah tingkatan kesadaran manusia yang masih terikat hawa nafsu, materi dan bentuk. Sedangkan Aruphadatu yang tak lagi terikat hawa nafsu, materi dan bentuk digambarkan dalam bentuk stupa induk yang kosong. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keinginan dan kekosongan. Jadi ingat kata-kata Biksu Tong Sam Cong dalam kisah Kera Sakti, "Isi adalah Kosong, Kosong adalah Isi." :)


Megahnya Candi Borobudur

Si mbak ini paparazi yang mau memotret saya, lho, sebenarnya

Oh..Gosh...can't believe that my friend is a 'lady boy'


Liat pemandangan dari atas itu yah, jangan liat saya!!!



Wisata Belanja

Orang bilang Malioboro adalah destinasi yang harus dikunjungi jika berada di Jogja dan memborong segalayang ada merupakan suatu ritual wisata yang tidak boleh ditinggalkan. Tapi sayangnya tidak begitu dengan saya. Saya kurang suka dengan tempat yang sarat dengan hiruk pikuk manusia. Terlebih kalau sudah sampai pada edisi paksa paksa. Salah-salah saya bisa ambil langkah seribu atau sekadar berjalan cepat sambil memberikan penolakan secara halus. Namun terkadang ada juga yang harus dengan cara kasar. Bukan tidak toleran, saya justru selalu iba, but please... i need my privacy. Saya juga berjalan-jalan untuk menyegarkan diri, bukan untuk dirusuhi.

"Mbak...mbak...sini dianter ke bakpianya lima ribu aja..."
"Enggak, pak."
"Ketempat pembuatan batik, yang murah...yo..mbak...lima ribu aja..."
"Makasih, pak. Enggak..."
"Ke dagadu, mbak...yang asli...keraton...beli perak...daripada jalan capek...jauh, lho mbak...ayo mbak dianter"
*masih berlanjut dengan bujuk rayu sampai saya ambil langkah lima ribu*

Kata salah seorang teman saya yang berpengalaman di pabrik bakpia, kalau kita mengambil jasa antar kelokasi bakpia menggunakan becak atau andong, harga bakpianya akan lebih mahal. Berbeda jika kita ke lokasi bakpia dengan berjalan kaki,menggunakan kendaraan pribadi atau taksi. Harga bakpia akan diturunkan sekitar 3k. Hal ini  dikarenakan sang pemilik toko harus memberikan 'persenan' kepada si tukang becak yang telah membawa rejeki untuk pemilik toko tersebut.


Suasanan di salah satu toko batik

Saya lebih suka melihat nenek ini membatik daripada mencium aroma dupa, minyak (nggak) wangi, dan bunga-bunga
Awalnya, Jalan Malioboro merupakan jalanan sepi dengan rindangnya pohon asam dikanan kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh warga yang akan menuju keraton. Namun karena adanya Pasar Beringharjo dan Kampung Ketandan (Pecinan), kegiatan ekonomi terdongkrak. Bahkan sampai meluas hingga ke utara dekat Stasiun Tugu seperti sekarang ini. 

Sebenarnya, saya lebih senang berada dikawasan Malioboro pada pagi hari. Udaranya segar, tidak banyak kendaraan berlalu-lalang dan saya masih bisa melihat sisa-sisa perjuangan orang-orang yang 'bertahan hidup' disini. Dengan begitu saya bisa memetik pelajaran dan selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepada saya. Sepertinya bagus sekalikalau jalanan Malioboro ini dijadikan car free area sehingga yang ada hanya pejalan kaki, becak, dan andong yang merupakan budaya lokal. 

Saya lebih senang berada di perempatan titik nol. Disini ada lumayan sedikit pepohonan yang membuat udara menjadi agak sedikit segar. Dari Jalan Malioboro, sedikit kearah selatan kita akan sampai ketitik nol, Benteng Vredeburg, dan selanjutnya menuju alun-alun keraton. Alun-alun Keraton dulunya merupakan tempat sakral yang tidak sembarang orang bisa menginjakkan kaki disana. Namun sekarang, alun-alun merupakan ruang publik dimana sering digelar perayaan-perayaan disana.

Berpagi di taman yang sepi dan sejuk

Nol Kilometer Jogja

Sayangnya udara pagi disini dinodai oleh sampah dan bau pipis #ihhh

Alun-alun utara Keraton
Lurus lagi keselatan dari nol kilometer, kita akan menemukan Museum Kereta Kencana. Museum ini berisi 18 Kereta Kencana warisan leluhur. yang terletak di Jl. Rotowijayan. Kereta-kereta disana diberi nama khusus masing-masing, seperti Kereta Nyai Jimat, Kereta Kyai Garudayaksa, Kereta Jaladara, Kereta Kyai Ratapralaya, Kereta Kyai Jetayu, Kereta Kyai Wimanaputra, Kereta Kyai Jongwiyat, Kereta Kyai Harsunaba, Kereta Bedaya Permili, Kereta Kyai Manik Retno, Kereta Kyai Kuthakaharjo, Kereta Kyai Kapolitin, Kereta Kyai Kus Gading, Landower Kereta, Kereta Surabaya Landower, Wisman Landower Kereta, Kereta Kyai Puspoko Manik dan Kereta Kyai Mondrojuwolo. 
Museum Kereta Kencana
Keraton

Destinasi yang paling saya sukai dari trip bersama The Great Ahmed (Apa banget, sih?) adalah Keratoooonnnnn!!!! Disini saya seperti menemukan jati diri dan merasa dekat sekali dengan budanya. Tiket masuk untuk pengunjung lokal 5k dan untuk wisatawan mancanegara 12,5k, plus izin kamera 1k.

Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (panjang banget) atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan saja menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa. Saya sendiri disini kagum dengan pertunjukan budaya yang digelar. Demikian juga dengan benda-benda yang (saya pikir) sakral, semuanya terawat dengan baik.







Bersama seorang abdi dalem




Taman Sari

Tempat ini disebut juga istana air. Tiket masuknya 7,5k perorang. Kolam pemandian di area ini dibagi menjadi tiga yaitu Umbul Kawitan (kolam untuk putra-putri Raja), Umbul Pamuncar (kolam untuk para selir), dan Umbul Panguras (kolam untuk Raja). Sayangnya saya tidak dapat merasakan sense apapun disini kecuali lelah, suasana gothic (sedikit) dan bau dupa dibeberapa titik. Untuk itu kami segera pulang.





Demikian cerita tiga hari bersama Ahmed dan Rinda. Semoga Ahmed tidak kapok saya guide dan tidak kapok juga dengan panasnya Jogja. Terimakasih atas kunjungannya, kawan. Meski banyak yang belum saya ceritakan dari liburan akhir pekan kali ini, mungkin bisa ditambahkan lagi nanti. Yang terpenting adalah, jangan lelah mengeksplorasi kekayaan negeri. Jangan sampai nggak kenal dengan budaya dan potensi diri. Sebelum diakuisisi oleh negara tetangga lagi. Hohohohooo... sukses selalu, kawan!!! sampai ketemu lagi :) 


Yogyakarta: Never Ending Asyiknya... #2

Edisi Ballet Ramayana








Yogyakarta: Never Ending Asyiknya... #1

Edisi Anak Pantai



     
Seaweed
Bergumul dengan Pasir Pantai Indrayanti

Time to go home...





Ciwidey : Romantic Dangerous!!!

Howdy, guys?!! Kali ini saya akan berkisah mengenai kegiatan liburan saya weekend lalu. Setelah melewati hari-hari yang padat, hectic, penuh tugas ini-itu, dikejar-kejar deadline (Aduuuhh...apa banget sih hari gini masih dikejar-kejar deadline...?! Mending juga dikejar-kejar jodoh #eh). Saya dijemput oleh Si Beruang Kelaparan (sebut saja 'Hungry Bear') pada Jumat pagi. Setelah sedikit refreshing dengan berjalan-jalan di Kota Jogja manise. Akhirnya menjelang sore hari kami makan di Waroeng SS 'Spesial Sambal' (akan saya kisahkan dibagian lain), kami bersiap-siap bertolak menuju Bandung.

Lantaran kehabisan tiket, beberapa minggu lalu kami akhirnya naik kereta ekonomi Kahuripan malam. Awalnya yang terbayang adalah kami akan jadi seperti pepes ikan, eh, pepes manusia setelah keluar dari kereta yang padat dan pengap itu. Tapi... surprise...ternyata keretanya ber-AC, sodara-sodara!!! Kami juga bingung, apakah ini karena promo #Valentrain atau apa. Karena tiket yang kami beli seharga IDR 38k bisa dapet AC. Dan karena kurang persiapan menghadapi kondisi kereta yang jauh dari bayangan tapi dekat dengan harapan. Ini serius loh, getting freeze deh gue karena posisi pas banget dibawah AC :( !!! Thank's KAI :)

Hari minggu pagi kami bersiap menuju Ciwidey. Karena nggak punya tujuan pasti mau kemana, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Kawah Putih, setelah itu kami berencana ke Situ Patenggang. Dari Cimahi, kami mengendarai sepeda motor selama kurang lebih 1,5 jam dengan ekstra hati-hati. Jalanan yang kami lewati sedikit rusak dan ada beberapa titik yang rusak parah, ditambah jalanan yang sempit sementara kendaraan yang lewat terbilang banyak. Selain itu kondisi medan yang curam dengan jurang dan gunung dimasing-masing sisi jalan ketika sudah berada diketinggian tertentu harus menambah kehati-hatian. Terlebih ketika hujan turun. Seperti yang kami alami, dalam perjalanan pulang kami menemui dua kejadian kecelakaan lalulintas ditengah guyuran hujan. So, be careful!!!

But, so far perjalanan yang ditempuh sangat menyenangkan. Di sepanjang jalan mata akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan strawberry yang segar. Sejujurnya ngabibita,sih. Setelah itu kita akan memasuki hutan cagar alam dengan pohon-pohon besar yang rimbun.

Sampai di Kawah Putih, kami memarkir motor. Disana terdapat jasa parkir kendaraan yang charge-nya diminta diloket tiket masuk. Sementara itu, karena kami lupa membawa masker dari rumah, kami harus membeli masker untuk mencegah keracunan ketika berada disekitar kawah. Masker ini sebenarnya juga berfungsi ketika dalam perjalanan karena cukup banyak debu jalanan dan asap kendaraan. Dilokasi juga terdapat banyak penjual masker dengan harga yang fastastis, menurut saya. masker sekali pakai dihargai IDR 5k-10k. Tapi demi keselamatan ya, rela nggak rela harus tetap beli. Oh iya, dilokasi parkir juga terdapat jasa penitipan helm. Jika tidak paham, salah-salah jasa penitipan helm yang harganya IDR 2k/helm ini dianggap gratis. Demikian juga dengan masker yang hanya dibagi-bagikan saja. Semua tampak gratis :)

Katanya, Kawah Putih dulunya terbentuk dari letusan Gunung Patuha pada abad ke-10 silam. Kawah bekas letusan itu akhirnya terisi oleh air hujan dan bereaksi dengan kandungan belerang yang ada di dalam kawah. Kawah Putih ini berada pada ketinggian sekitar 2.400 mdpl. Suhunya jangan ditanya, pasti dingin banget. Dan saya nggak bawa jaket. Untung saya bawa beruang berkulit tebal, jadi bisa menghibahkan jaketnya untuk saya. Heuheu...
... and... here we go!!!

Harga tiket masuk dan parkir kendaraan






Tarif masuknya saya pikir memang terlalu mahal. Terlebih untuk sekedar menikmati anugrah Tuhan dengan waktu yang tidak akan mungkin lama. Apalagi untuk mobil yang parkir didalam. Kami harus membayar IDR 55k untuk berdua, parkir motor, dan ongkos angkut menuju kawah. Untuk bisa menuju kawah, kita harus naik kendaraan mirip oplet yang namanya ontang anting. Biayanya langsung dibayarkan di loket awal masuk, jadi nggak perlu repot lagi. Konon katanya ada 60 buah ontang anting yang siap mengantar-jemput. Jadi nggak perlu khawatir ngantri dan tegambuiy :)

Ontang Anting dan shelter-nya

...these are our picts

Let's go!!!
Kebetulan pas kami kesini, kawah dipenuhi oleh kabut yang membuat jarak pandang jadi pendek sekali. kayak negeri diatas awan deh, pokoknya. Konon penduduk sekitar menyebut tempat ini sebagai persemayaman arwah para leluhur yang angker. Memang nggak sedikit juga yang meregang nyawa disini, termasuk hawan-hewan seperti burung. Ya, logically thinking, mereka bisa dipastikan keracunan belerang atau kekurangan oksigen ketika berada ditempat ini. 

Petunjuk Arah
Warning!!!
Masih seger, belum kelaparan, belum sesak napas, dan pusing
Hutan Cantigi

Kayak dipantai (pantai berair panas)

Looks like somewhere...

Poor him, without jacket or blanket

Spot favorit banyak pengunjung disini
Di perjalanan dari Kawah Putih menuju Situ Patenggang kami disuguhi pemandangan yang sejuk banget dimata. Belum lagi udaranya yang jauh beda dibandingkan panas dan berasapnya Jogja. Sayangnya hujan dan angin tiba-tiba datang, jadi kami urung deh pergi ke Situ Patenggang. Padahal disana lebih kece daripada kawah putih :(

Kebun teh PTPN VIII
Akhirnya kami pergi kekota untuk membeli beberapa barang dan sesekali melihat kehidupan kota. Dan Thank's to Hungry Bear yang akhirnya memenuhi ngidam saya terhadap makanan yang satu ini. Yups... tahu gejrot yang jauh-jauh diimpor dari Cirebon. Dari dulu sampe sekarang harganya tetap IDR 5k/porsi dan si bapak penjualnya nggak pindah, lho, jualannya. Tetap dibawah pohon ini, ditrotoar yang sebenarnya nggak asik banget. saya ini pejalan kaki dan anti penyalahgunaan trotoar, lho, pak sebenarnya :(

Tahu Gejrot depan Gramedia

Hari beranjak petang dan kami pun pulang kekandang. seperti juga mentari yang pulang keperaduan :) 
Senja dibatas kota, selalu teringat padamu....

Jalan masih panjang, bahkan mungkin tak berujung

As I always say, jarak hanyalah bilangan yang... (teruskan sendiri)

Back to the real world, back to reality, back to Djogja manise :)

Saya selalu suka tempat ketinggian dengan pemandangan dan suguhan alam yang menenangkan. Seperti juga yang Kawah Putih berikan kepada saya. Gunung dan pegunungan itu selalu tampak berwibawa, tegas, cool (dalam berbagai makna), sunyi. Keanggunan yang menyihir siapapun yang berpikir. Suasana yang menghadirkan rileksasi. Saya pikir seperti me-recharge baterai yang nyaris 'siap buang'. Alam telah menghadiahi kerakusan manusia dengan balasan kebaikan yang tiada tara. Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang akan kau dustakan?

 
Sekian laporan perjalanan kali ini. semoga bisa cepat-cepat jalan-jalan lagi. Tadabur alam, refreshing, ngabisin uang, dan bersenang-senang (^_^)v