(Hanya) Masalah Upah, Bukan Sumpah Serapah

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan kenaikan upah buruh tidak akan menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan kesejahteraan buruh. Sofjan juga menyayangkan rencana mogok kerja buruh pada 31 Oktober dan 1 November 2013. Menurut dia, hal itu bisa mengganggu iklim investasi.

"Mogok kerja memang hak serikat pekerja, namun yang tidak benar adalah mereka melakukan pemaksaan agar buruh yang lain juga turut serta dalam mogok kerja tersebut," katanya.

"Aparat pemerintah harus melakukan tindakan tegas untuk pabrik-pabrik yang terkena sweeping dan jika terus seperti ini, saya tidak tahu lagi berapa banyak lagi pabrik yang harus gulung tikar," tambah dia.

(Antaranews, 30 Oktober 2013)

Masih ada kebebasan yang bertanggungjawab untuk menyuarakan pendapat dinegeri ini, bukan? Aku tidak memilih bungkam. Bisa saja ini menjadi tonggak sejarah lahirnya kebijakan baru yang entah bijak maupun cacat. Seperti biasa, negeri ini kalang kabut ketika muncul seorang (atau kelompok) yang menjadi pelopor atau katakanlah provokator. Beragam kepentingan pun dikorbankan. Pada akhirnya, negeri ini semakin tampak lucu saja.

Buku Palsu dari Pedagang Palsu dengan Kata-Kata Palsu

Aku jadi ingat Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono yang pernah kubaca semasa SD. Sejak kunjunganku pertama kali jaman SMA dulu ke kota ini, aku mengalami banyak hal yang kusebut sebagai penipuan. Baik itu sikap ramah orang-orangnya, pedagang yang suka memaksa-maksa (meski awalnya ramah tamah), atau sikap lembut diluar tapi beda didalamnya. Yah, namanya juga mencari nafkah untuk keluarga. Kalau dalam materi kuliah S1-ku dulu ini semacam "case hardening" yang terjadi pada produk pangan. Apasih?!

Jadi seharusnya aku sudah waspada. Harusnya aku sudah siap dengan segala kemungkinannya. Termasuk tertipu oleh penjual Buku.

Sejak beberapa waktu yang lalau aku mencari buku lama dari seorang penulis ternama. Aku sangat mengagumi karya dan pola berpikirnya. Aku tahu buku yang terbit sekitar tahun 1988 itu tidak ada lagi dipasaran. Oleh karena itu, aku pasrah jika aku harus membayar mahal untuk dua buku bekas (buku itu terdiri dari dua jilid). Aku mencari via internet, aku menelepon kesana kemari dan belum mendapatkan buku tersebut. 

Sajak Palsu

 Karya: Agus R. Sarjono

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.
1998

Rabu Pagi

Rabu Pagi
Kuseduh sesendok kopi
Komoditas dari tanah yang teramat kucintai
Kusesapi tanpa henti
Kuhirup
Dalam
Sebuah cangkir usang
Asapnya meliuk seperti mengantarku pulang
Ah, sungguh tiada tandingan
Kuhisap hingga pikiranku jauh melesat
Jauh
Pada rindu yang membuatku sekarat