Ketika Semesta Jadi Saksi Bijaksana [Sebuah Monolog 3# Episode]

Aku terdiam sesaat. Sepertinya memang aku tidak akan pernah dapat menggambarkan seperti apa perlakuan mereka terhadapku. Aku menarik nafas panjang perlahan. Lantas mengeluarkannya seketika. Aku sedikit lebihtenang. Ketika aku melihat ke arah galaksiku. Mereka memberi isyarat agar aku mengingat satu – satunya harapan hidup. Dzat yang dapat diandalkan. Kekasih yang selalu stand by  berada disisiku. 

Kekasih yang memberikan segalanya untukku. Rabbul Izzati yang maha mengasihi, yang mencurahkan segala cintaNya hingga ke berbagai penjuru dunia. Memberiku nafas yang merupakan kemurahanNya. Dengan keyakinan terhadapNya yang mengalir dalam setiap alirandarahku. Disana aku merasai kehadiran malaikat. Dengan sayapnya, sang malaikat merangkul seluruh planet. Memastikan mereka tetap berada pada orbitnya. Memastikan bahwa aku dapat bercengkrama dengan galaksiku malam ini.


Aku takut. Aku khawatir kekecewaanku dengan (sebut saja) sahabat – sahabatku akan mendamparkan aku pada kelamnya masa lalu itu [lagi]. Aku tidak dapat membuktikan bahwa sekembalinya aku kepada mereka akan menghapuskan kekecewaan masa silam. Ternyata aku salah menilai. Aku salah menyangka. Mereka akan tetap seperti ini sampai kapanpun. Dan aku memang bukan bagian darimereka. Aku tidak pernah diinginkan oleh mereka. Kehadiranku tidak dianggap apa– apa. Aku tidak akan pernah diberi kesempatan untuk memberi sedikit arti. Adadan tiadaku tidak menjadi soal bagi mereka. Lalu untuk apa aku ada??!!

Aku bertanya pada rumput liar. Aku iri padakebebasan angin. Aku menginginkan keikhlasan seperti tanah.  Aku menginginkan keindahan seperti galaksi itu. Aku mengharapkan harmoni dunia seperti malam ini. Dibukit ini.

"Tidakkah aku sedikit saja dapat mengubah skenarioTuhan? Atau melakukan improvisasi dalam lakon di panggung ini? Atau bahkan akumemberontak untuk tidak mengikuti skenario yang bahkan telah tertulis sebelum aku ada?"

Galaksiku mendesah pelan.

"Skenario Tuhan adalah skenario Maha Dahsyat yang tiada bandingnya. Semua tersusun atas pertimbangan – pertimbangan yangmenjadikan harmoni dan warna bagi dunia," kata bulan yang tiba – tiba muncul dari balik awan."Kita hanya faktor X yang dicari dengan dalil Y. Takdir telahdituliskan. Pena telah diangkat dan tintanya pun telah mengering. Jalani saja,itulah yang terabaik bagi kita."

"Hapus air mata tak berguna itu!!! Bukankah kauselalu berkhalwat dengan Rabb mu dimalam – malammu? Lalu apalagi?bukankah itusudah cukup bagimu? Bukankah ada Ia yang selalu setia menemanimu. Mengap aotakmu masih kau rumitkan dengan keberadaan mereka? Biarlah mereka hidup dalam keegoisan mereka. Bukankah Rabb mu menguji hambaNya dengan musibah bahkan kesenangan? Biarlah mereka bersenang – senang dengan dunia mereka sendiri.Bukankah kau begitu mengagumi keunikkan penyandang autis? Lantas apa bedanyamereka dengan penyandang autis yang hidup dalam dunia mereka sendiri?" Tiba –tiba kunang - kunang datang.

“Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa MUSIBAH, ia BERSABAR, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan HAL TERBAIK bagi dirinya.” (HR. Muslim)

Kata – kata sang kunang - kunang ternyata mampu menghadirkan senyuman. Aku membenarkan perkataannya.

" Ya. Aku masih mempunyai Tuhan yang akan selalu menjagaku."

Rumput tersenyum padaku.

"Aku akan dengan senang hati mengamati keautisan mereka. yang sangat menonjol adalah anak-anak ini sangat asyik dengan dunianya sendiri. Seolah-olahmereka hidup dalam dunianya sendiri dan menolak berinteraksi dengan orangdisekitarnya. Orang Amerika menyebut anak ini dengan sebutan anak peri (berbicara sendiri). Aku menikmatinya. Aku suka mempelajari autisme. Kalaubegitu, kuanggap saja mereka objek belajarku. Haha...yeah!!! Finally, I got the point!!!" kataku bersemangat.

Aku seketika berdiri sembari mengepalkan tangan. Hingga rintihan tanahyang kuinjak tiada kupedulikan lagi. Ya, aku lega. Aku masih punya Rabb. Masih ada teman – teman yang membutuhkan aku. Masih ada yang tidak pernah menampilkan'wujud seram'nya kepadaku. Masih ada yang benar – benar patut dijadikan inspirasi surgawi. aku masih bisa belajar dan berinteraksi dengan teman – teman lain, dengan orang – orang hebat yang bahkan selalu 'membumi'. Aku masih punya harapan. Untuk apa memikirkan mereka. Untuk apamengharapkan mereka. Berharap kepada manusia macam itu hanya akan membuat sengsara. Hanya Allah segala harapan ditujukan agar aku tiada pernah kecewa lagi. Masih ada tempat lain untuk mengabdi. Masih banyak orang – orang diluar sana yang membutuhkan 'tenaga'ku. Nikmat Tuhan yang mana lagi yang akan aku dustakan?! Astaghfirulahaladzim...

jika kita telah mengaku menjadi orang beriman, maka disana ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Allah Ta’ala berfirman:


أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ{2} وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ{3}
Artinya:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)

Read more Ketika Semesta Jadi Saksi Bijaksana #4

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<