Potret Implementasi HTR Pesisir Barat: Bak Memegang Mata Pisau…



Bak memegang mata pisau. Demikian ungkapan keprihatinan Ulumudin tentang kondisi yang ia alami sekarang setelah menjadi anggota Koperasi Lambar Subur Rezeki. Menurutnya, petani/anggota koperasi memegang mata pisau sementara gagangnya dipegang oleh pihak koperasi. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Alasannya klasik, mereka takut kehilangan lahan yang selama ini telah mereka garap. Sedangkan dalam hak dan kewajibannya, petani diwajibkan menanam segala jenis tanaman yang dianjurkan berdasarkan Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan mengikuti petunjuk teknis dalam pelaksanaannya. Selain itu mereka juga harus menjual semua hasil produksi pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) kepada pihak koperasi. Petani yang menjadi anggota koperasi telah terikat dan harus bersedia menanggung segala kewajiban dan resiko.

Masih


subuh itu
kutunggu kau

tapi tak ada siapa pun di sana
apa kau lupa
kemana kau harus datang

aku menerawang
pandangan kosong kulayangkan

hingga hingar bingar siang
memusingkanku dengan lalu lalang

aku masih menunggu
sambil duduk tergugu
dan menghitung kancing baju

masih akan kutunggu
hingga mentari berpulang ke peraduan
dan nyawaku terlepas dari badan
jika kau masih ingat untuk pulang


Mess Dosen, 26 April 2014

Tukiman: Cinta Tak Pernah Mati



“Dulu itu saya umur tiga belas tahun. Di rumah saya ramai sekali. Saya didandani[i]. Saya nggak tau mau diapain... eh, nggak taunya saya dinikahin sama bapak (Tukiman) yang umurnya sudah tiga puluh lima, “ papar Istri Tukiman berkaca-kaca. “Saya itu dulu sering dinasehati sama Bapak. Kalau Bapak pulang dari ladang, nggak ada makanan di rumah. Bapak suka jemput saya yang lagi main di rumah tetangga. Saya lagi main lompat karet, diseret dibawa pulang,” lanjutnya.
Kami terdiam beberapa saat.
“Bapak itu nggak pernah marah sama saya. Sama anak-anak juga nggak pernah marah. Paling Cuma nasehati pelan-pelan. Saya nggak bisa masak, ya, diajarin sama dia. Kami masak berdua di dapur. Kami nyuci baju. Kami cari kayu bakar. Yah, namanya aja masih tiga belas tahun. Saya, ya, belum ngeh kalau saya sudah jadi istri,” dia terkekeh,"Bapak itu dari dulu tetap manggil saya 'Nduk' sampai dia nggak ada lagi nggak pernah berubah. Tetap 'Nduk' dan saya manggil dia 'Kang',"kenangnya.
Tiba-tiba angin laut yang sangat kencang membawa butir-butir pasir masuk ke dalam rumah papan yang berlubang itu. Tidak lama kemudian, hujan deras turun diikuti petir bersahut-sahutan. Serta-merta kami menutup semua pintu dan jendela.