Bak memegang mata pisau.
Demikian
ungkapan keprihatinan Ulumudin tentang kondisi yang ia alami sekarang setelah
menjadi anggota Koperasi Lambar Subur Rezeki. Menurutnya, petani/anggota
koperasi memegang mata pisau sementara gagangnya dipegang oleh pihak koperasi. Mereka
tidak dapat berbuat apa-apa. Alasannya klasik, mereka takut kehilangan lahan
yang selama ini telah mereka garap. Sedangkan dalam hak dan kewajibannya, petani
diwajibkan menanam segala jenis tanaman yang dianjurkan berdasarkan Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan
mengikuti petunjuk teknis dalam pelaksanaannya. Selain itu mereka juga harus
menjual semua hasil produksi pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) kepada pihak koperasi. Petani yang
menjadi anggota koperasi telah terikat dan harus bersedia menanggung segala
kewajiban dan resiko.
Masih
Saturday, April 26, 2014
subuh itu
kutunggu kau
tapi tak ada siapa pun di sana
apa kau lupa
kemana kau harus datang
aku menerawang
pandangan kosong kulayangkan
hingga hingar bingar siang
memusingkanku dengan lalu lalang
aku masih menunggu
sambil duduk tergugu
dan menghitung kancing baju
masih akan kutunggu
hingga mentari berpulang ke peraduan
dan nyawaku terlepas dari badan
jika kau masih ingat untuk pulang
Mess Dosen, 26 April 2014
Tukiman: Cinta Tak Pernah Mati
Tuesday, April 22, 2014
“Dulu itu saya umur
tiga belas tahun. Di rumah saya ramai sekali. Saya didandani[i].
Saya nggak tau mau diapain... eh, nggak taunya saya dinikahin sama bapak
(Tukiman) yang umurnya sudah tiga puluh lima, “ papar Istri Tukiman
berkaca-kaca. “Saya itu dulu sering dinasehati sama Bapak. Kalau Bapak pulang
dari ladang, nggak ada makanan di rumah. Bapak suka jemput saya yang lagi main
di rumah tetangga. Saya lagi main lompat karet, diseret dibawa pulang,”
lanjutnya.
Kami terdiam
beberapa saat.
“Bapak itu nggak
pernah marah sama saya. Sama anak-anak juga nggak pernah marah. Paling Cuma nasehati
pelan-pelan. Saya nggak bisa masak, ya, diajarin sama dia. Kami masak berdua di
dapur. Kami nyuci baju. Kami cari kayu bakar. Yah, namanya aja masih tiga belas
tahun. Saya, ya, belum ngeh kalau saya sudah jadi istri,” dia terkekeh,"Bapak itu dari dulu tetap manggil saya 'Nduk' sampai dia nggak ada lagi nggak pernah berubah. Tetap 'Nduk' dan saya manggil dia 'Kang',"kenangnya.
Tiba-tiba angin
laut yang sangat kencang membawa butir-butir pasir masuk ke dalam rumah papan
yang berlubang itu. Tidak lama kemudian, hujan deras turun diikuti petir
bersahut-sahutan. Serta-merta kami menutup semua pintu dan jendela.
Subscribe to:
Posts (Atom)