#LetterstoAubrey from Rinda Gusvita – Jangan Kecanduan Junk Food

Hollaaaaa... Ubii, Gadis Cantiknya Mami Gesi yang cethar membahana hingga ke seluruh penjuru dunia...!!!

Oo tanjoo bii omedetou gozaimasu, Ubii Chan!!! Selamat ulang tanggal dan bulan lahir, sayang. Sebelumnya, izinkan nee chan sedikit berargumen dulu, ya, manis. Ketahuilah bahwa orang-orang Indonesia yang lainnya telah salah kaprah. Mana ada tahun bisa diulang? Nee Chan sendiri yang telah melewati angka dua puluhan belum pernah merasakan bahwa ‘tahun itu berulang’. So, let’s say happy birthday, Ubii!! Karena hanya tanggal dan bulan lahir kitalah yang terus berulang dan menjulang, sementara jatah hidup kita terus berkurang. :)

Shoping Time: Parfum

Siapa sih yang nggak suka sama orang yang wangi? Aku inget banget cerita Ibu dulu tuh kalo aku sering dicium-cium sama anak-anak tetangga. Gara-gara bajuku wangi, badanku wangi, rambutku juga wangi. Aku juga suka banget lama-lama deket dengan orang yang wangi. Tapi kadang ada orang yang jadi korban parfum yang membuat orang di sekitarnya juga jadi korban. Ada yang salah pilih wangi parfum. Ada yang nyiram parfum ke seluruh badan sampe sebotol. Nah kan mulai lebay.

Pemilihan parfum bisa jadi sebuah identitas loh buat kita. Aku aja sekarang mulai krisis identitas gara-gara ganti-ganti parfum. Pertama, gara-gara jadi korban embak embak SPG di mall. Jadi kebawa rayuan diskon lah... bla...bla...bla.... Aku juga punya setidaknya tiga parfum. aku menyesuaikan aku akan bertemu siapa. Aku punya Anna Sui yang disuka banget sama pacarku, Nah kalo untuk aktivitas yang agak berkeringat aku suka pake yang light blue. Dan satu lagi untuk ke kampus aku lebih suka yang wanginya seger kayak sabun mandi. Biar berasaabis mandi terus. Ini juga bisa menambah semangat dalam menjalankan aktivitas.

Bekerja Under Passion

Banyak yang bertanya
aku ini mau jadi apa?
nggak kuliah juga nggak kerja 

tapi kujawab inilah aku apa adanya

tapi jangan kira 
aku nggak berbuat apa-apa
aku berkarya dengan yang ku bisa 
dan yang penting aku bahagia

(Bebas Merdeka, Steven And The Coconut Treez)

Aha! Itu adalah soundtrack of my life ketika saya dinyatakan sebagai PENGANGGURAN seorang yang bebas merdeka. Lulus dari sebuah universitas negeri dengan titel sarjana dan wisudawan terbaik tingkat fakultas ternyata tidak berarti apa-apa. Nyatanya, tidak ada pekerjaan yang mendekat sendiri kepada saya. Errrr... adakah yang berpikiran serupa? 

Honestly, saya belum ingin bekerja waktu itu. Saya belum terpikir untuk menjadi wanita karir. Saya tidak ingin mempunyai aktivitas monoton dan hidup di bawah tekanan atasan dan aturan perusahaan. Saya ingin kuliah. Tapi setelah setahun berjuang, proses beasiswa saya gagal terus. Lamaran yang saya kirimkan juga tidak kunjung mendapatkan jawaban. Ketika itu saya mengirimkan aplikasi ke sebuah perusahaan surat kabar harian. Ya, saya ingin menjadi seorang reporter dengan hectic-nya hidup sebagai reporter yang sudah terbayang dalam benak saya. Dan saya menyukainya.

Jamu: Local Wisdom Goes Global

Prolog
Pertengahan Juni lalu saya diundang untuk menyampaikan makalah hasil penelitian pada kegiatan seminar nasional di Universitas Trunojoyo Madura. Pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di pulau itu. Saya pergi seorang diri. Dari Yogyakarta pesawat saya mendarat di Bandara Juanda sekitar pukul setengah lima sore. Padahal seharusnya kami sudah tiba di Surabaya sejak satu jam sebelumnya. Jalanan macet. Sidoarjo banjir. Hari beranjak malam ketika Bus Damri kami tiba di Terminal Bungur Asih Surabaya. 

Saya menimbang-nimbang apakah saya tetap akan menuju Bangkalan via penyebrangan laut, atau menumpang bus via Jembatan Suramadu. Akhirnya setelah berdiskusi dengan petugas keamanan di terminal itu, saya memutuskan untuk naik bus via Suramadu. Hujan hebat dan saya tetap cinta Indonesia, saya bersyukur hanya ada bencana banjir karena hujan. Bukan badai hebat hingga badai api seperti yang terjadi di negara lain. Saya bersyukur tinggal di Indonesia.


Yogyakarta, Kota Pelajar yang Belum Siap Disebut Jagat Buku

Dikenal sebagai Kota Pelajar sekaligus Kota Wisata membuat Yogyakarta terus menjelma sebagaimana kebutuhan orang-orang di dalamnya. Pelajar, baik itu siswa maupun mahasiswa tentu tak dapat dipisahkan dari kebutuhan akan bacaan bermutu. Kebutuhan terhadap buku bagi masyarakat Yogyakarta, memicu menjamurnya penjual-penjual buku di daerah ini. Buku dapat ditemukan dengan mudah di sudut-sudut kafe, toko buku, bahkan kios pinggir jalan. Harga dan kualitasnya pun bervariasi. Mulai dari buku impor yang seringkali tak terjangkau, hingga buku bekas dan buku bajakan.
Meski telah memasuki era digitalisasi, buku cetak tak kunjung kehilangan peminatnya. Kecanggihan teknologi membuktikan bahwa dunia memang tak hanya selebar daun kelor. Penyebaran informasi yang cepat dari segala penjuru dunia menjadikan fungsi buku cetak lambat laun tergantikan.

Festival Buku Indonesia 2014: Surga yang Tak Sepenuhnya Ternikmati


Dikenal sebagai kota pelajar sekaligus kota wisata, Yogyakarta menjelma sebagaimana keinginan dan kebutuhan manusia-manusia di dalamnya. Pelajar, baik siswa maupun mahasiswa tentu tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan terhadap bacaan bermutu. Kebutuhan terhadap buku bagi masyarakat Yogyakarta, memicu menjamurnya penjual-penjual buku di daerah ini. Buku dapat ditemukan dengan mudah di sudut-sudut kafe, toko buku, bahkan kios pinggir jalan. Harga dan kualitasnya pun bervariasi. Mulai dari buku impor yang seringkali tak terjangkau, hingga buku bekas dan buku bajakan. Meski telah memasuki era digitalisasi, buku cetak tak kunjung kehilangan peminatnya. 


Saya sebenarnya sudah menyimpan agenda ini dari jauh-jauh hari. Setelah pulang dari seminar di Madura, berlibur di weekend, seninnya langsung seminar kemajuan tesis. Jadwal yang padat dua minggu kebelakang. Belum lagi akhir bulan yang memaksa saya untuk tetap memborong buku di dua tempat. Festival Buku Indonesia dan bazar buku di UGM Press. And you know... hasrat untuk membeli buku lebih susah dibendung daripada menahan kentut pada saat ujian skripsi! Trust me!