Realita dalam Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Pesisir Barat



Dalam deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai masyarakat adat (indigenous people) bahwa negara wajib melindungi wilayah adat, budaya, dan peraturan – peraturan adat. Secara antropologi, seperti terjadi di Pesisir Utara, klaim lahan oleh masyarakat adat akan dilakukan apabila dalam kawasan tersebut ada tanaman damar, jika pun ia meninggalkan lahan tersebut, suatu ketika jika ia kembali lagi, lahan itu merupakan garapannya, berbeda halnya jika tanam tumbuh yang ada seperti karet, dan sebagainya. Pola pengelolaan lahan oleh masyarakat telah dilakukan secara agroforestri. Hal ini tentu lebih baik dari pada sekedar monokultur atau sistem land clearing yang diterapkan oleh Koperasi.

Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang digulirkan pemeritah pusat melalui pemerintah daerah Lampung khususnya kabupaten Lampung Barat tersebut mencakup di seluruh wilayah pesisir mulai dari Lemong hingga Bengkunat Belimbing. Ini merupakan program nasional diperuntukkan bagi masyarakat yang telah menggarap hutan.
Areal pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Lampung Barat telah dikukuhkan dan ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan RI luas ± 24.000 Ha. Di sepanjang Pesisir Selatan Krui sampai Pesisir Utara Krui. HTR adalah skema yang dibangun untuk oleh pemerintah sebagai upaya untuk melindungi, memanfaatkan sekaligus juga melakukan pemulihan dengan keterlibatan langsung parapihak utama masyarakat baik yang berada disekitar kawasan Hutan Produksi (HP) maupun disekitarnya.
Program HTR yang diluncurkan oleh pemerintah ini pada dasarnya disambut baik oleh masyarakat, karena memang dapat memberikan kepastian kepada masyarakat terutama masyarakat yang selama ini memanfaatkan kawasan hutan (HPT) sebagai


kawasan hidupnya. Berbagai kemudahan pada program HTR ini juga dirasa dapat menjawab kebutuhan hidup masyarakat, diantara kemudahan tersebut diantaranya adalah; 1). Masyarakat mendapat legitimasi berupa izin kelola, 2). Hasil yang dapat diambil bukan hanya hasil hutan bukan kayu tetapi kayunya pun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, 3). Izin yang dikeluarkan cukup lama sehingga dapat memberikan kepastian kelola jangka panjang, berbeda dengan program sebelumnya seperti; 1). Program Inhutani tahun 1981 sampai 1994, 2). Proyek Padat Karya tahun melalui Program Pembagunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tahun 1998, 3). Program Hutan Kemasyarakatan Tahun 2007.
Ketika itu masyarakat pengelola selalu saja dibuat resah lantaran dianggap sebagai perambah hutan. Padahal masyarakat justru melakukan pemeliharaan terhadap vegetasi didalam hutan dan menanaminya dengan tanam tumbuh yang dapat diambil hasilnya dan merupakan tanaman yang cocok sebagai vegetasi hutan seperti karet. Setiap ada program dan kebijakan baru, para petani harus menebang tanaman yang telah mereka pelihara sebelumnya dan diwajibkan menanam bibit tanaman yang telah disediakan oleh pemerintah.
Sementara itu, perluasan pembukaan HTR dalam hutan alam di HPT dan penanaman bibit semakin masif. Areal HTR tersebut masuk dalam konsesi Koperasi Lambar Subur Rezeki. Diperkirakan +10 Ha hutan alam yang berhimpitan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) tersebut sudah terbuka. Dibeberapa tempat tampak jalan-jalan tikus (jalan rintisan) dalam TNBBS yang digunakan untuk operasional buruh tani dalam mengangkut bibit-bibit tersebut ke lokasi. Tidak ada tindakan dari pihak Balai Besar TNBBS, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat atas penyimpangan-penyimpangan tersebut, walaupun Tim Advokasi HTR Mandiri telah melaporkannya.
Berdasarkan pantauan langsung dilapangan dan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa kelompok masyarakat yang tidak tergabung dengan koperasi, saat ini dibeberapa wilayah yang menjadi konsesi koperasi ada yang hanya sebatas pembersihan kemudian terhenti karena ada penolakan keras dari masyarakat.
Kegelisahan tersebut juga telah memunculkan gerakan kolektif masyarakat untuk mengkritisi pelaksanaan program HTR yang Pelaksanaan Program HTR di Kabupaten Lampung Barat sudah keluar dari semangat dicetuskannya serta kontradiktif dengan kaidah-kaidah dasar yang menjadi landasan pelaksanaan program HTR, terlihat jelas bahwa pelaksanaan program HTR ini hanya untuk pemenuhan kepentingan segelintir/sekolompok orang terutama pemilik modal dan politik sementara masyarakat hanya dijadikan alat legitimasi untuk mengeruk keuntungan dari pelaksanaan program HTR.
Berangkat dari permasalahan tersebut, masyarakat pengelola hutan di tiga kecamatan yang masuk konsesi HTR berinisiasi untuk membentuk suatu organisasi. Wadah yang kemudian diberi nama Gerakan Rakyat Tani Mandiri (GraTaM) itu mencakup masyarakat di 87 kelompok tani di Kecamatan Bengkunat Belimbing, Bengkunat, dan Ngambur. Selain aktivitas pergerakan perebutan ruang kelola hutan oleh masyarakat, petani yang tergabung dalam GraTaM juga melakukan aktivitas terkait peningkatan kualitas SDM dan pola kelola lahan.

Gerakan rakyat tersebut didampingi oleh Tim Advokasi HTR yang merupakan gabungan dari beberapa lembaga, diantaranya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Watala, Kawan Tani, dan TPP Lampung.

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<