Saya
dibesarkan di sebuah desa yang berjarak sekitar 20 km dari ibukota kabupaten. Sebenarnya
desa kami tidak terlalu terpencil. Bukan pula perbatasan negara. Desa kami
berada di bagian selatan Provinsi Lampung yang bisa ditempuh perjalanan darat
dan laut delapan jam saja dari Ibu Kota Jakarta.
Saya dan
ketiga adik saya sering mengutuki nasib, jadi semacam menolak takdir. Kami
sebenarnya nggak betah tinggal di sana. Alasannya adalah jauh dari mana-mana.
Saya pernah menulis curhatan tentang desa yang Tertindas, Berharap, dan Masih Menunggu. Kami sempat mau pindah, tapi dinas
orangtua kami sebagai guru yang nggak memungkinkan untuk kami pindah. So, kami harus terus bersabar. Toh tiap liburan kami pergi ke kota.
Dan ketika liburan inilah kami bisa 'melihat dunia'.
Di kampung,
kami hanya melihat orang-orang pergi ke sawah, ke pasar. Nggak ada angkot,
nggak ada becak, nggak ada mall apalagi bioskop. Tapi yang paling membuat kami stress adalah nggak ada sinyal.