Kaleidoskop 2015 Rinda Gusvita




Hola! Ini saya pake latah pengen bikin kaleidoskop, padahal nggak banyak hal besar dan berkesan yang saya lakukan untuk orang banyak. Hell yeah, saya sadar sepenuhnya bahwa kebermanfaatan saya masih kurang ya bagi masyarakat banyak.
Tahun 2015 saya emang sangat nggak produktif karena saya emang sering sakit, itu alasan pertama. Alasan kedua adalah saya masih punya tanggungan tesis meski udah memasuki semester enam. Ketiga, ya emang saya banyak mager-nya sih. LOL.

Birthday Bear, Age Is Just A Number




Hallo, semangat pagi kamu yang kembarannya, Raditya Dika, juga abis milad kemaren!
*Maapkeun greeting yang panjang ini, ya! *

Pertama-tama makasih banget kamu udah ngelarang aku untuk nggak repot-repot ngebangunin kamu tengah malem (padahal aku tau kamu pasti belum tidur) jadi aku bisa bobo pules karena abis dikerokin. LOL. Duh, aku bingung pengen ngomong apa, yah. Karena ucapan dan doa kan pasti selalu udah aku sampaikan ke Tuhan setiap saat. Doa yang baik-baik tentang kamu, juga tentang kita dong. Ciye.

[Resensi] Critical Eleven, Monster of Tears




Judul Buku   : Critical Eleven
Penulis          : Ika Natassa
Tahun Terbit : Cetakan Ketujuh, November 2015
Penyunting   : Rosi L. Simamora
Desain Sampul: Ika Natassa
Penerbit        : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN               : 978-602-03-1892-9
Tebal              : 344 halaman; 20cm
Harga             : Rp. 79.000

Kata adalah jembatan yang terbakar habis setelah kita lewati sehingga kita tak pernah bisa kembali lagi.

Serat Centhini, Cinta dan Pengabdian Elizabeth D. Inandiak




Hari itu berkah hujan melimpah ruah di Bogor seharian. Kami duduk-duduk di beranda Footprint Bed and Breakfast selepas makan malam. Saya merasa bahwa saya harus bicara dan mengulik apapun tentang Elizabeth D. Inandiak ditemani Pak Isyanto dan Nora. 

Sebelumnya saya kurang ngeh bahwa dia adalah seorang sastrawan Perancis. Saya hanya ingat bahwa namanya tidak begitu asing. Hingga malam sebelumnya ingatan saya melayang pada petualangan saya dalam menggali kisah Centhini. Saya pernah membeli satu potongan novel Centhini, seri kedua Minggatnya Cebolang dan seri terakhir Nafsu Terakhir. Dan betapa beruntungnya saya bisa berada satu atap dengan penulisnya kini.

Bulan Dana PMI, Secuil Cara Murah Menuju Surga




Media sosial dan mainstream pernah heboh gara-gara ada keluarga pasien yang mengeluh karena diminta untuk membayar uang dengan jumlah tertentu ketika akan mendonorkan darah. Padahal orang tersebut kan ingin donor, ingin menyumbang, masak iya disuruh bayar. Apa bedanya dengan membeli darah langsung dari Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (UTD PMI)?

Mungkin sebagian orang mengira kalau kita mendonorkan darah, darah itu bisa langsung disalurkan ke tubuh pasien yang membutuhkan. Kanapa harus lewat PMI kalau begitu? Kenapa tidak skin to skin saja langsung?

Well, terkadang kebutuhan pasien beda-beda. Ada yang butuh darah lengkap, sel darah merah, dan sebagainya. Belum lagi darah harus diperiksa dulu dan dipastikan tidak membawa penyakit tertentu yang justru membahayakan si pasien. Kemudian, darah juga nggak bisa cuma disimpan dalam plastik kresek. Dan semua perlakuan terhadap darah dan si pendonor itu juga butuh biaya yang tidak sedikit. Tak jarang orang menyangka PMI ini kebanyakan korupsi dan tidak becus untuk sekedar mengurusi darah.

Tentang Hajatan di Kampung Saya



Ini adalah jawaban sekaligus penjelasan terhadap status saya di Facebook yang menuai emosi beberapa orang. Saya akui, yang menggunakan bahasa sarkas seperti itu adalah alterego saya. Saya juga bingung, seharian saya terlalu baper dan sensitif. PMS, mungkin Pepy benar.

 Tapi no excuse ya untuk orang yang terlanjur berkata kasar di media sosial. Untuk itu saya minta maaf. Tapi saya nggak akan menarik ucapan saya meski itu membuat beberapa orang merasa nggak nyaman.